Tuesday, May 25, 2021

Makalah G30SPKI PKN

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1  Latar Belakang

Paska diproklamasikan kemerdekaanya tangga 17 Agustus 1945 Indonesia mengalami banyak permasalahan. Sebagai Negara yang baru kelengkapan Negara yang dibentuk melalui sidang-sidang belum dapat berjalan maksimal. Disisi lain pemerintahan jajahan dalam hal ini adalah Belanda belum mau melepaskan Indonesia secara penuh. Setelah jepang kalah dalam perang melawan Sekutu. Sekutu melalui NICA datang ke Indonesia namun Belanda ikut bersamanya. Belanda kemudian melakukan agresi-agresi militer.

Untuk menyelesaikan perseturuan dengan Belanda dibuatlah beberapa perjanjian-perjanian yang sebenarnya tidak menguntungkan Indonesia. Dalam perjanjian-perjanjian ini Belanda mencoba memecah belah kembali Indonseia. Salah satu isinya adalah memberntuk Uni-Indonesia beladan dan egara Indonesia diubah menjadi negera serikat dimana terdapat Negara-negara bagian didalam Indonesia.

Karena merupakan Negara baru pembangunan dan perekonomian belum dalap berjalan merata hal ini lah yang memicu ketidak puasan negera-negara serikat karena pembangunan ekonomi hanya terpusat di Jawa. Oleh karena itu banyak Negara bagian yang ingin melepaskan diri dan berdiri sendiri.

 

1.2 Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Pemberontakan yang dilakukan PKI MADIUN?

2.       Bagaimana Pemberontakan yang dilakukan DI/TII?

 

1.3 Tujuan Pembahasan

1.      Menguraikan serta menjelaskan sejarah dan bentuk Pemberontakan yang dilakukan PKI MADIUN.

2.      Menguraikan serta menjelaskan sejarah dan bentuk Pemberontakan yang dilakukan DI/TII.

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1 Pemberontakan PKI MADIUN

Peristiwa Pemberontakan PKI di Madiun Tahun 1948, Latar Belakang, Tujuan, Upaya Penumpasan - Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 bukanlah suatu jaminan bahwa warga Negara Indonesia dapat merasakan kemerdekaan dengan seutuhnya seperti apa yang dijanjikan pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Setelah Kemerdekaan Negara Republik Indonesia diproklamasikan oleh presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, banyak sekali permasalah yang bermunculan di Negara Indonesia baik dari segi ekonomi, politik, sosial, keamanan dan pertahanan, dan masih banyak lagi permasalahan yang terjadi setelah proklamasi tersebut diumumkan. Dalam segi perekonomian, pemerintahan RI masih belum bisa melakukan perbaikan yang cukup signifikan secara menyeluruh. Salah satu peristiwa yang terkenal di Negara Indonesia ini yaitu Peristiwa Pemberontakan di Madiun.

 

2.1.1 Penyebab / Latar Belakang Terjadinya Pemberontakan PKI di Madiun

Tidak lama setelah kemerdekaan Republik Indonesia, pada tanggal 18 September 1948 terjadi peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh sekelompok orang dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Kemerdekaan yang seharusnya dihiasi dengan pembangunan Bangsa, justru malah dikacaukan oleh sekelompok orang yang tidak paham tentang arti kemerdekaan Indonesia. Kelompok yang satu ini lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompoknya daripada kepentingan nasional yang seharusnya lebih diperhatikan untuk kemajuan bangsa. Pemahaman komunisme tumbuh dibenak orang-orang PKI, sedangkan rakyat biasa seperti para petani, buruh dan lain sebagainya tidak tahu apa arti dari paham politik tersebut. Mereka mengikuti para aktivis PKI hanya karena ikut-ikutan dan bukan karena pemahaman yang baik tentang komunisme tersebut.

Peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh PKI ini diawali dengan kesepakatan perjanjian Renville, di mana Negara Indonesia berada dalam posisi yang sangat dirugikan. Kerugian pertama yaitu adanya penyempitan kekuasaan wilayah Indonesia dan hal ini semakin memperlemah posisi Indonesia, karena pada saat itu posisi Negara Indonesia terkurung oleh kekuasaan Belanda. Kerugian kedua yang terjadi di Indonesia adalah hancurnya sektor perekonomian, dimana masyarakat Indonesia sangat lemah dalam bidang perekonomian karena di blokade oleh Negara Belanda. Kerugian ketiga yang dirasakan oleh Negara Republik Indonesia adalah konflik antara Amir Syariffuddin dan kelompok yang kontra terhadap hasil perjanjian Renville, dimana kelompok ini didominasi oleh Partai Nasional Indonesia dan Masyumi.

Tidak lama setelah perjanjian Renville, pada bulan Januari 1948, Amir Syariffuddin lengser dari jabatannya, dan lengsernya Amir Syariffuddin disikapi dengan rasa kecewa oleh Muso. Setelah Amir Syariffuddin turun dari jabatannya, Mohammad Hatta ditunjuk untuk membentuk kabinet, dan pada pembentukan kabinet tersebut, Mohammad Hatta mengajak Masyumi, PNI, dan Sayap kiri untuk bergabung dan bersama-sama membangun kabinet koalisi dengan proporsi wakil yang seimbang. Dalam perundingannya, Sayap Kiri tidak menolak tawaran tersebut untuk terlibat dengan kabinet koalisi Hatta. Namun, Sayap Kiri menginginkan kedudukan yang lebih strategis dan lebih dominan dengan mengajukan pengaturan penempatan kedudukan bagi wakil-wakilnya. Amir Syariffuddin menggalang kekuatan dengan kelompok sosialis lainnya seperti, Partai Komunis Indonesia (PKI), Pemuda Sosial Indonesia ( PESINDO), Partai Sosialisasi Indonesia (PSI), dan partai buruh. Kelompok tersebut diberi nama perjuangan Front Demokratik Rakyat (FDR).

 

2. 1.2 Tujuan Pemberontakan PKI di Madiun

Tujuan pertama yang dilakukan oleh PKI adalah dengan melakukan propaganda kepada masyarakat untuk mempercayai akan pentingnya Front Nasional. Lewat Front Nasional tersebut dilakukan penggalangan kekuatan revolusioner dari masyarakat tani, buruh, dan golongan rakyat miskin lainnya dengan memanfaatkan keresahan sosial yang terjadi di antara masyarakat tersebut. PKI berencana bahwa setelah upaya tersebut dilakukan, maka selanjutnya PKI akan berkoalisi dengan tentara. PKI beranggapan bahwa tentara Indonesia harus memiliki sikap yang sama seperti tentara merah yang berada di Uni Soviet. Tentara yang dipilih oleh PKI harus memiliki pengetahuan di bidang politik dan dibimbing oleh opsir-opsir politik, serta harus memiliki pemikiran anti penjajahan. Sebagian besar tentara yang bergabung dengan PKI adalah tentara yang mempunyai rasa sakit hati akibat adanya program Rasionalisasi dan Reorganisasi oleh kabinet Hatta dan secara kebetulan mereka juga menemukan persamaan tujuan dengan PKI.

Pemberontakan yang dilakukan oleh PKI di Madiun di mulai pada jam 03.00 setelah terdengarnya tembakan pistol tiga kali sebagai tanda dimulainya gerakan non-parlementer oleh kelompok komunis, kemudian disusul dengan adanya gerakan pelucutan senjata. Selanjutnya, kesatuan PKI menguasai tempat-tempat penting yang berada di kota Madiun, seperti tempat penyimpanan uang rakyat (Bank), Kantor Polisi, Kantor Pos, dan Kantor Telepon. Setelah itu, para pasukan PKI melanjutkan aksinya dengan menguasai Kantor Radio RRI dan Gelora Pemuda yang akan digunakan sebagai alat untuk mengumumkan ke seluruh penjuru negeri mengenai penguasaan kota Madiun yang nantinya akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). PKI juga mengumumkan pendirian Sovyet Republik Indonesia dan pembentukan pemerintahan Front Nasional. Proklamasi ini diumumkan oleh Supardi, seorang tokoh FDR dari PESINDO dengan diiringi pengibaran bendera merah. Dengan adanya proklamasi tersebut, maka kota Madiun dan sekitarnya dinyatakan resmi sebagai daerah yang merdeka dan tidak lagi menjadi bagian dari Indonesia.

Pada tanggal 18 September 1948, PKI menyatakan bahwa berdirinya Soviet Republik Indonesia tersebut bertujuan untuk mengganti Pancasila (Dasar Negara Indonesia) dengan komunis. Namun, ketika Sovyet Republik Indonesia diumumkan,  Amir Syariffuddin dan Muso yang selanjutnya ditunjuk sebagai Presiden dan Wakil Presiden, mereka malah berada luar di kota Madiun. Organisasi-organisasi yang sudah dipersiapkan untuk menjalankan pemberontakan tersebut antara lain: kelompok yang di pimpin oleh Sumantoro (PESINDO), Pasukan Divisi VI Jawa Timur dipimpin oleh Kolonel Djokosujono, dan Letkol Dahlan. Waktu itu, panglima Divisi VI Jawa Timur adalah seorang Kolonel bernama Sunkono. Selain itu, ada juga sebagian Divisi Penembahan Senopati yang dipimpin oleh Letkol Sutojo dan Letkon Suadi. Dalam gerakan ini, organisasi PKI telah melakukan pembunuhan terhadap dua orang pegawai pemerintah dan menangkap empat orang anggota militer. Perebutan wilayah ini berlangsung dengan lancar, dan selanjutnya mereka mengibarkan bendera merah di depan Balai Kota.

Anggota komunis yang dipimpin oleh Sumarsono, Dahlan, dan Djokosujono dengan cepat telah menguasai daerah-daerah yang berada di kota Madiun, karena sebagian besar tentara yang berada di kota tersebut tidak melakukan perlawanan terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh PKI tersebut. Di sisi lain, pertahanan kota Madiun sebelumnya memang lemah sehingga dengan cepat sudah dikuasai oleh Pasukan Brigade 29.121. Pada jam 07.00 pagi, PKI telah berhasil menguasai kota Madiun dengan sepenuhnya.

2.1.3 Upaya Penumpasan Pemberontakan PKI di Madiun

Pemberontakan PKI yang terjadi di kota Madiun mendorong Presiden Republik Indonesia untuk melakukan tindakan tegas terhadap PKI. Presiden RI, Ir. Soekarno memusatkan seluruh kekuasaan yang berada di bawah komadonya. Ketika beliau mendengar berita bahwa kota Madiun telah dikuasai oleh sekelompok pemberontak dari PKI yang dipimpin Muso, maka pemerintah langsung mengadakan Sidang Kabinet Lengkap yang berlangsung pada tanggal 19 September 1948 dan diketuai secara langsung oleh Ir. Soekarno. Hasil sidang tersebut mengambil keputusan antara lain:

Bahwa peristiwa yang terjadi di kota Madiun yang digerakan oleh PKI adalah suatu pemberontakan terhadap Pemerintah Indonesia dan memberikan instruksi kepada alat-alat Negara dan Angkatan Perang untuk memulihkan keamanan Negara. Memberikan kekuasaan penuh terhadap Jenderal Sudirman untuk melaksanakan tugas pemulihan keamanan dan ketertiban di Madiun dan daerah-daerah lainnya. Setelah Peresiden memberikan Komando kepada Angkatan perang untuk memulihkan keamanan di kota Madiun, dengan segera Angkatan Perang mengadakan penangkapan terhadap provokator yang membahayakan Negara dan diadakan penggerebegan di tempat-tempat yang dianggap perlu untuk diamankan. Untuk melaksanakan intruksi presiden tersebut dengan sebagik-baiknya, maka Markas Besar Angkatan Perang segera menunjuk dan mengangkat Kolonel Sungkono, Panglima Divisi VI Jawa Timur sebagai Panglima Pertahanan Jawa Timur yang selanjutnya mendapat tugas untuk memimpin pasukan dari arah timur untuk menumpas Pemberontakan yang dilakukan oleh PKI Musso dan mengamankan kembali seluruh daerah di Jawa Timur dari ancaman pemberontak.

Setelah mendapat perintah tersebut, Kolonel Sungkono segera memerintahkan Brigade Surachmad untuk bergerak menuju kota Madiun. Pasukan tersebut dipimpin oleh seorang Mayor bernama Jonosewojo.  Pembagian pasukan terdiri atas Batalyon Sabirin Mucthar bergerak menuju Trenggalek terus ke Ponorogo, Batalyon Gabungan yang dipimpin oleh Mayor Sabaruddin bergerak melalui Sawahan menuju Dungus dan Madiun, sedangkan Batalyon Sunarjadi bergerak melalui Tawangmangu, Sarangan, Plaosan.

Selain itu, pasukan Divisi Siliwangi yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Sadikin juga berusaha untuk menguasai Madiun. Untuk tugas operasi ini, Divisi Siliwangi mengerahkan kekuatan dari 8 Batalyon, yang di antaranya adalah: Batalyon Achmad Wiaranatakusumah, Batalyon Lukas (Pengganti dari Batalyon Umar), Batalyon Daeng, Batalyon Nasuhi, Batalyon Kusno Utomo (dipimpin Letkol Kusno Utomo yang juga memegang dua Batalyon), dan Batalyon Sambas yang kemudian diganti dengan Batalyon Darsono, Batalyon A. Kosahi Batalyon Kemal Idris. Di sisi lain, pasukan penembahan Senopati yang dipimpin oleh Letkol Selamet Ryadi, Pasukan Perang Pelajar yang dipimpin oleh Mayor Achmadi, dan pasukan dari Banyumas yang dipimpin oleh Mayor Surono. Batalyon Kemal Idris dan Batalyon A. Kosashi yang di datangkan dari Yogyakarta bergerak dari arau utara dengan tujuan Pati. Batalyon Daeng bergerak dari Utara menuju Cepu dan blora. Batalyon Nasuhi dan Batalyon Achmad Wiranatakusuma bergerak ke arah selatan dengan tujuan Wonogiri dan Pacitan. Batalyon Lukas dan Batalyon darsono bergerak ke arah Madiun. Sedangkan untuk pasukan Panembahan Senopati bergerak ke arah utara dan Pasukan Tentara Pelajar yang dikomandoi oleh Mayor Achmadi bergerak ke Madiun melalui Sarangan.

Musso yang melarikan diri ke daerah Ponorogo akhirnya tertembak mati oleh Brigade S yang di pimpin oleh Kapten Sunandar pada tanggal 32 Oktober 1948. Penembakan ini terjadi sewaktu Kapten Sunandar sedang melakukan patroli. Sedangkan pada tanggal 20 November 1948, pasukan Amir Syariffuddin yang berusaha menuju Tambakromo terlihat sangat menyedihkan. Banyak diantara pasukan Amir ingin melarikan diri, tetapi warga selalu siap untuk menangkap mereka. Banyak mayat para pemberontak ditemukan karena kelaparan atau sakit, dan akhirnya Amir Syariffuddin menyerahkan diri beserta sisa pasukannya pada tanggal 29 November 1948.

Gerakan Operasi Militer yang dilancarkan oleh pasukan yang taat dan patuh kepada pemerintah Republik Indonesia berjalan dengan singkat. Hanya dalam waktu 12 hari, Madiun beserta daerah-daerah di sekitarnya dapat dikuasai kembali, tepatnya pada tanggal 30 September 1948. Setelah Madiun dapat direbut kembali oleh pasukan TNI, keamanan kota Madiun-pun mulai terkendali dan setiap rumah yang berada di sekitarnya mengibarkan bendera Merah Putih.

2.1.4  Dampak dari Pemberontakan PKI di Madiun

Terjadinya pemberontakan di kota Madiun membuat keamanan di daerah tersebut tidak stabil sehingga meresahkan warga yang berada di daerah tersebut. Akibat pemberontakan tersebut, aktivitas warga biasa seperti petani dan buruh terganggu. Kelancaran untuk membangun bangsa pada saat itu menjadi terganggu dan hal ini merugikan masyarakat Indonesia. Dampak lain yang disebabkan oleh pemberontakan PKI yakni, banyaknya korban jiwa yang baik dari anggota TNI maupun anggota PKI, tidak sedikit pasukan kedua pihak yang terluka dan mati. Pasukan PKI juga banyak yang meninggal karena kelaparan dan penyakit. Pemberontakan PKI ini melibatkan setidaknya 8 Batalyon dan pasukan Militer Indonesia yang harus bertempur melawan para pemberontak yang sebetulnya juga merupakan rakyat Indonesia.

2.2      Pemberontakan DI/TII

Pemberontakan DI/TII di Indonesia, Latar Belakang, Penyebab, Tujuan - Negara Islam Indonesia (NII),  Tentara Islam Indonesia (TII) atau biasa disebut dengan DI (Darul Islam) adalah sebuah gerakan politik yang didirikan pada tanggal 7 Agustus 1949 (12 syawal 1368 Hijriah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di sebuah desa yang berada di kota Tasikmalaya, Jawa Barat. NII tersebut diproklamasikan pada saat Negara Pasundan yang dibuat oleh Belanda mengangkat seorang Raden yang bernama Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema sebagai pemimpin/presiden di Negara Pasundan tersebut.

2.2.1 Latar Belakang dan Tujuan Pemberontakan DI/TII

Gerakan NII ini bertujuan untuk menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah Negara yang menerapkan dasar Agama Islam sebagai dasar Negara. Dalam proklamasinya tertulis bahwa “Hukum yang berlaku di Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam” atau lebih jelasnya lagi, di dalam undang-undang tertulis bahwa “Negara Berdasarkan Islam” dan “Hukum tertinggi adalah Al Qur’an dan Hadist”. Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) menyatakan dengan tegas bahwa kewajiban Negara untuk membuat undang-undang berdasarkan syari’at Islam, dan menolak keras terhadap ideologi selain Al Qur’an dan Hadist, atau yang sering mereka sebut dengan hukum kafir.

Dalam perkembangannya, Negara Islam Indonesia ini menyebar sampai ke beberapa wilayah yang berada di Negara Indonesia terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dieksekusi pada tahun 1962, gerakan Darul Islam tersebut menjadi terpecah. Akan tetapi, meskipun dianggap sebagai gerakan ilegal oleh Negara Indonesia, pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) ini masih berjalan meskipun dengan secara diam-diam di Jawa Barat, Indonesia.

Pada Tanggal 7 Agustus 1949, di sebuah desa yang terletak di kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mengumumkan bahwa Negara Islam Indonesia telah berdiri di Negara Indonesia, dengan gerakannya yang disebut dengan DI (Darul Islam) dan para tentaranya diberi julukan dengan sebutan TII (Tentara Islam Indonesia). Gerakan DI/NII ini dibentuk pada saat provinsi Jawa Barat ditinggalkan oleh Pasukan Siliwangi yang sedang berhijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta dalam rangka melaksanakan perundingan Renville.

Saat pasukan Siliwangi tersebut berhijrah, kelompok DI/TII ini dengan leluasa melakukan gerakannya dengan merusak dan membakar rumah penduduk, membongkar jalan kereta api, serta menyiksa dan merampas harta benda yang dimiliki oleh penduduk di daerah tersebut. Namun, setelah pasukan Siliwangi menjadwalkan untuk kembali ke Jawa Barat, kelompok DI/TII tersebut harus berhadapan dengan pasukan Siliwangi.
2.2.2 Upaya Penumpasan Pemberontakan DI/TII

Usaha untuk meruntuhkan organisasi DI/TII ini memakan waktu cukup lama di karenakan oleh beberapa faktor, yaitu: tempat tinggal pasukan DI/TII ini berada di daerah pegunungan yang sangat mendukung organisasi DI/TII untuk bergerilya. Pasukan Sekarmadji dapat bergerak dengan leluasa di lingkungan penduduk. Pasukan DI/TII mendapat bantuan dari orang Belanda yang di antaranya pemilik perkebunan, dan para pendukung Negara pasundan. Suasana Politik yang tidak konsisten, serta prilaku beberapa golongan partai politik yang telah mempersulit usaha untuk pemulihan keamanan.

Selanjutnya, untuk menghadapi pasukan DI/TII, pemerintah mengerahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk meringkus kelompok ini. Pada tahun 1960 para pasukan Siliwangi bekerjasama dengan rakyat untuk melakukan operasi “Bratayudha” dan “Pagar Betis” untuk menumpas kelompok DI/TII tersebut. Pada Tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan para pengawalnya di tangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi Bratayudha yang berlangsung di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh pasukan TNI, Mahkamah Angkatan Darat menyatakan bahwa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati, dan dan setelah Sekarmadji meninggal, pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapat dimusnahkan.

2.2.3  Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

Pada tanggal 7 Agustus 1949 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo secara resmi menyatakan bahwa organisasi Negara Islam Indonesia (NII) berdiri berlandaskan kanun azasi, dan pada tanggal 25 Januari 1949, ketika pasukan Siliwangi sedang melaksanakan hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, saat itulah terjadi kontak senjata yang pertama kali antara pasukan TNI dengan pasukan DI/TII. Selama peperangan pasukan DI/TII ini di bantu oleh tentara Belanda sehingga peperangan antara DI/TII dan TNI menjadi sangat sengit. Hadirnya DI/TII ini mengakibatkan penderitaan penduduk Jawa Barat, karena penduduk tersebut sering menerima terror dari pasukan DI/TII. Selain mengancam para warga, para pasukan DI/TII juga merampas harta benda milik warga untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.

2.2.4 Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah

Selain di Jawa Barat, pasukan DI/TII ini juga muncul di Jawa Tengah semenjak adanya Majelis Islam yang di pimpin oleh seseorang bernama Amir Fatah. Amir Fatah adalah seorang komandan Laskar Hizbullah yang berdiri pada tahun 1946, menggabungkan diri dengan pasukan TNI Battalion 52, dan bertempat tinggal di Berebes, Tegal. Amir ini mempunyai pengikut yang jumlahnya cukup banyak, dan cara Amir mendapatkan para pasukan tersebut, yaitu. Dengan cara menggabungkan para laskar untuk masuk ke dalam anggota TNI. Setelah Amir Fatah mendapatkan pengikut yang banyak, maka pada tangal 23 Agustus 1949 ia memproklamasikan bahwa organisasi Darul Islam (DI) berdiri di desa pesangrahan, Tegal. Dan setelah proklamasi tersebut di laksanakan, Amir Fatah pun menyatakan bahwa gerakan DI yang di pimpinnya bergabung dengan organisasi DI/TII Jawa Barat yang di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Di Kebumen juga terdapat sebuah organisasi  bernama Angkatan Umat Islam (AUI) yang di dirikan oleh seorang kyai bernama Mohammad Mahfud Abdurrahman. Organisasi tersebut juga bermaksud untuk membentuk Negara Islam Indonesia (NII) dan bersekutu dengan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Sebenarnya, gerakan ini sudah di desak oleh pasukan TNI. Akan tetapi, pada tahun 1952, organisasi ini bangkit kembali dan menjadi lebih kuat setelah terjadinya pemberontakan Battalion 423 dan 426 di Magelang dan Kudus. Upaya untuk menumpas pemberontakan tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan baru yang di beri nama Banteng Raiders dengan organisasinya yang di sebut Gerakan Banteng Negara (GBN). Pada tahun 1954 di lakukan sebuah operasi yang di sebut Operasi Guntur untuk menghancurkan kelompok DI/TII tersebut.

2.2.5  Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan

Pada bulan Oktober 1950 terjadi sebuah pemberontakan Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRyT) yang di pimpin oleh seorang mantan letnan dua TNI bernama Ibnu Hajar. Dia bersama kelompok KRyT menyatakan bahwa dirinya adalah bagian dari organisasi DI/TII yang berada di Jawa Barat. Sasaran utama yang di serang oleh kelompok ini adalah pos-pos TNI yang berada di wilayah tersebut. Setelah pemerintah memberi kesempatan untuk menghentikan pemberontakan secara baik-baik, akhirnya seorang mantan letnan Ibnu Hajar menyerahkan diri. Akan tetapi, penyerahan dirinya tersebut hanyalah sebuah topeng untuk merampas peralatan TNI, dan setelah peralatan tersebut di rampas olehnya, maka Ibnu Hajar pun melarikan diri dan kembali bersekutu dengan kelompok DI/TII. Setelah itu, akhirnya pemerintahan RI mengadakan Gerakan Operasi Militer (GOM) yang di kirim ke Kalimantan selatan untuk menumpas pemberontakan yang terjadi di Kalimantan Selatan tersebut, dan pada tahun 1959, Ibnu Hajar berhasil di ringkus dan di jatuhi hukuman mati pada tanggal 22 Maret 1965.

2.2.6 Pemberontakan DI/TII di Aceh

Sesaat setelah Kemerdekaan Republik Indonesia di proklamasikan, di Aceh (Serambi Mekah) terjadi sebuah konflik antara kelompok alim ulama yang tergabung dalam sebuah organisasi bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang di pimpin oleh Tengku Daud Beureuh dengan kepala adat (Uleebalang). Konflik tersebut mengakibatkan perang saudara antara kedua kelompok tersebut yang berlangsung sejak Desember 1945 sampai Februari 1946. Untuk menanggulangi masalah tersebut, pemerintah RI memberikan status Daerah Istimewa tingkat provinsi kepada Aceh, dan mengangkat Tengku Daud Beureuh sebagai pemimpin/gubernur.

Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI) yang terbentuk pada bulan Agustus 1950. Pemerintahan Republik Indonesia mengadakan sebuah sistem penyederhanaan administrasi pemerintahaan yang mengakibatkan beberapa daerah di Indonesia mengalami penurunan status. Salah satu dari semua daerah yang statusnya turun yaitu Aceh, yang tadinya menjabat sebagai Daerah Istimewa, setelah operasi penyederhanaan tersebut di mulai, status Aceh pun berubah menjadi daerah keresidenan yang di kuasai oleh provinsi Sumatera Utara. Kejadiaan ini sangat mengecewakan seorang Daud Beureuh, dan akhirnya Daud Beureuh membuat sebuah keputusan yang bulat untuk bergabung dengan organisasi Negara Islam Indonesia (NII) yang di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 20 Spetember 1953. Setelah Daud Beureuh bergabung dengan NII, mereka melakukan sebuah operasi untuk menguasai kota-kota yang berada di Aceh, selain itu mereka juga melakukan propaganda untuk memperkeruh citra pemerintahan Republik Indonesia.

Pemberontakan yang di lakukan Daud Beureuh bersama angota NII yang di pimpin oleh Sekarmadji akhirnya di atasi oleh pemerintah dengan cara menggunakan kekuatan senjata dan operasi militer dari TNI. Setelah pemerintahan RI melakukan operasi tersebut, maka kelompok DI/TII tersebut mulai terkikis dari kota-kota yang di tempatinya. Tentara Nasional Indonesia-pun memberikan pencerahan kepada penduduk setempat untuk menghindari kesalah pahaman dan mengembalikan kepercayaan kepada pemerintahan Republik Indoneisa. Tanggal 17 sampai 28 Desember 1962, atas nama Prakasa Panglima Kodami Iskandar Muda, kolonel M.Jasin mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, yang musyawarah tersebut mendapat dukungan dari para tokoh masyarakat Aceh dan musyawarah yang di lakukan tersebut berhasil memulihkan kemanana di Aceh.

2.2.7  Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan

Selain pemberontakan DI/TII di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan. Pemberontakan DI/TII ini juga terjadi di Sulawesi Selatan yang di pimpin oleh Kahar Muzakar, organisasi yang sudah di dirikan sejak tahun 1951 tersebut baru bisa di runtuhkan oleh pemerintah pada Tahun 1965. Untuk menumpas organisasi tersebut di butuhkan banyak biaya, tenaga, dan waktu karena kondisi medan yang sangat sulit. Meski demikian, para pemberontak DI/TII sangat menguasai area tersebut. Selain itu, para pemberontak memanfaatkan rasa kesukuan yang berkembang di kalangan masyarakat untuk melawan pemerintah dalam menumpas organisasi DI/TII tersebut. Setelah pemerintahan Republik Indonesia mengadakan operasi penumpasan DI/TII bersama anggota Tentara Republik Indonesia. Barulah seorang Kahar Muzakar tertangkap dan di tembak oleh pasukan TNI pada tanggal 3 Februari 1965.

Pada akhirnya TNI mampu menghalau seluruh pemberontakan yang terjadi pada saat itu. Karena seperti yang kita ketahui Indonesia terbentuk dari berbagai suku dengan beragam kebudayaannya dan UUD 45 yang melindungi beberapa kepercayaan sehingga tidak mungkin untuk menjadikan salah satu hukum agama di jadikan hukum negara.

            Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan meletus sejak tahun 1951 dan dipimpin oleh Kahar Muzakar. Munculnya gerakan DI/TII tersebut bermula dari Kahar Muzakar menempatkan laskar-laskar rakyat Sulawesi Selatan ke dalam lingkungan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Selanjutnya, Kahar muzakar berkeinginan untuk menjadi pimpinan APRIS di daerah Sulawesi Selatan.

Pada tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar mengirim surat kepada pemerintah pusat. Dalam surat tersebut Kahar Muzakar menyatakan agar semua anggota dari KGGS (Komando Gerilya Sulawesi Selatan) dimasukkan dalam APRIS. Kahar Muzakar juga mengusulkan pembentukan Brigade Hasanudin. Namun, permintaan Kahar Muzakar tersebut ditolak oleh pemerintah pusat. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, pemerintah pusat bersama dengan pimpinan APRIS mengeluarkan kebijakan dengan memasukkan semua anggota KGSS ke dalam Corps Tjadangan Nasiaonal (CTN) dan Kahar Muzakar diangkat sebagai pimpinannya dengan pangkat letnan kolonel.Kebijakan pemerintah tersebut tidak memuaskan Kahar Muzakar. Pada tanggal 17 Agustus 1951, bersama dengan pasukannya Kahar Muzakar melarikan diri ke hutan. Pada tahun 1952 Kahar Muzakar menyatakan bahwa wilayah Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo.

 Untuk mengatasi pemberontakan tersebut, pemerintah bertindak tegas dengan mengadaka operasi militer. Penumpasa tersebut mengalami berbagai kesulitan, namun akhirnya pada bulan Februari 1965 Kahar Muzakar berhasil ditembak dan pada bulan Juli 1965, orang kedua setelah Kahar (Gerungan) dapat ditangkap. Peristiwa tersebut mengakhiri pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan.

Gerilyawan (DI/TII) menggunakan taktik pertempuran gerilya. Taktik gerilya yang dimaksud adalah memukul musuh diwaktu mereka lengah dan menghindarkan serangan musuh ketika mereka berada dalam posisi yang kuat. Konsep strategi tersebut diterapkan sampai berakhirnya gerakan DI/TII pada tahun 1965.Kehadiran DI/TII di Sulsel menimbulkan keresahan dan ketidakamanan bagi masyarakatSelama berlangsungnya gerakan DI/TII, masyarakat  Sulsel khusus nya daerah Maros mengalami berbagai kondisi yang sangat memprihatinkan akibat tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pasukan DI/TII. Penculikan (orang), perampokkan (barang), pembunuhan, dan bahkan pembunuhan seakan menjadi “suatu yang lumrah atau biasa” dan merupakan konsekuensi dalam melakukan perubahan. Hal itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, sehingga menimbulkan reaksi penduduk setempat, baik yang mendukung maupun yang tidak mendukung. Selain melakukan penculikan dan pembunuhan, pasukan DI/TII juga melakukakn perampokkan barang-barang (tanpa kecuali barang-barang yang mereka dapati ketika beraksi) kepunyaan penduduk hampir dalam setiap kali aksi memasuki kampung-kampung.

Pada tanggal 3 Februari 1965, melalui Operasi Tumpas, Kahar Muzakar dinyatakan tertembak mati dalam pertempuran antara pasukan TNI dari satuan Siliwangi 330 dan anggota pengawal Kahar Muzakkar di Lasolo. Akhirnya Tentara Islam Indonesia yang dipimpin oleh Kahar Muzakar tumpas pada saat itu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

3.1 Kesimpulan

Kemerdekaan Indonesia yang baru berjalan selama tiga tahun, pada tanggal, 18 September 1948, sudah dikacaukan oleh pemberontakan yang di lakukan oleh kelompok Partai Komunis Indonesia (PKI). Kemerdekaan yang seharusnya diisi oleh pembangunan bangsa, justru dikacaukan oleh sekelompok orang yang tidak memahami arti kemerdekaan. Kepentingan pribadi dan kelompok lebih diutamakan daripada kepentingan nasional. Paham komunisme tumbuh pada jiwa orang-orang PKI, sedangkan rakyat, khususnya buruh dan tani, tidak paham berpolitik. Mereka mengikuti aktivis PKI hanya karena ikut-ikutan, dan bukan karena pemahaman yang baik mengenai komunisme.

 

3.2 Saran

Oleh karena itu kita sebagai generasi muda berupaya untuk mencegah hal hal yang tidak diinginkan tersebut terjadi dengan cara belajar dengan tekun dan memperkuat ilmu agama. Dan kita juga harus selektif dalam mengambil langkah dalam era globalisasi. Jangan sampai hal itu membuat kita terpuruk kedalam lembah kezaliman dan membuat segala hal menjadi biadap seperti pada zaman pemberontakan tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

 

·         http://www.nafiun.com/2014/03/peristiwa-pemberontakan-pki-di-madiun-1948.html

·         http://www.nafiun.com/2014/03/pemberontakan-ditii-di-indonesia.html

·         https://donipengalaman9.wordpress.com/2013/08/27/pemberontakan-di-indonesia/

·         https://www.gurusejarah.com/2017/08/pemberontakan-di-indonesia-antara-tahun.html

 

 

No comments:

Post a Comment